Senin, 30 Maret 2020

Makalah Islam Nusantara


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A.    Latar Belakang.................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A.    Sejarah Islam Nusantara.................................................................................... 2
B.     Karakteristik Islan Nusantara........................................................................... 3
C.    Tiga Aliran Islan Nusantara............................................................................... 7
D.    Islam Nusantara dalam Konteks Saat Ini......................................................... 11
BAB III
PENUTUP..................................................................................................................... 13
A.    Kesimpulan.......................................................................................................... 13
B.     Lampiran............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAK..................................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam universitas Nahdlatul ‘Ulama Lampung terdapat mata kuliah Studi Islam Nusantara yang di ampu oleh Dosen Bapak Drs. H. Munawir, M.Si. pada semester 6. Oleh sebab itu disusunlah sebuah makalah ini yang bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam Nusantara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Islam Nusantara ?
2.      Bagaimana karakteristik Islam Nusantara ?
3.      Bagaimana aliran Islam Nusantara ?
4.      Bagaimana Islam Nusantara dalam konteks saat ini ?












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Islam Nusantara
Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Nusantara dalam merumuskan ilmu fikihnya. Pada Juni tahun 2015, Presiden Ir Joko Widodo sudah secara terbuka memberikan dukungan pada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk ajaran Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya dan bangsa Indonesiayang besar dan beragam Penyebaran Islam di Indonesia merupakan proses secara perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai.
Suatu teori menyebutkan Islam datang langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan bahwa peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada abad ke-12 atau ke-13, baik melewati Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam berhasil menggantikan agama Hindu dan Buddha yang saat itu sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional pertama kali berkembang di Indonesia yaitu cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh Ulama, para kyai di pesantren.
Model penyebaran Islam seperti itu ditemukan di pulau Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional sudah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual suku Jawa yang sudah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga bagian dalam tradisi Islam seperti misalnya ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia Islam Nusantara.
Dibandingkan dengan Muslim di Timur Tengah, Muslim di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini karna pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang mendorong Indonesia — sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar ikut berkontribusi pada evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi. Maka selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan digalakkan.


2.      Katakteristik Islam Nusantara
Islam Nusantara ini memiliki karakteristik-karakteristik yang khas sehingga membedakan dengan karakteristik-karakteristik Islam kawasan lainnya, khususnya Islam Timur Tengah yang banyak mempengaruhi Islam di berbagai belahan bumi ini.
Wilayah Nusantara memiliki sejumlah keunikan yang berbeda dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan tradisi peradaban (Ghozali dalam Sahal & Aziz, 2015: 115). Keunikan-keunikan ini menjadi pertimbangan para ulama ketika menjalankan Mujamil Qomar 205 el Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 Islam di Nusantara. Akhirnya, keunikan-keunikan ini membentuk warna Islam Nusantara yang berbeda dengan warna Islam di Timur Tengah.
Islam Nusantara merupakan Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah bangsa dan negara (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015; 240). Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya dapat diterima masyarakat Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya, yakni rahmatan li al-‘alamin. Pesan rahmatan li al-‘alamin ini menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang moderat, toleran, cinta damai, dan menghargai keberagaman (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 242). Islam yang merangkul bukan memukul; Islam yang membina, bukan menghina; Islam yang memakai hati, bukan memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan menghujat; dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan.
Semenjak awal, Islam Indonesia memiliki corak dan tipologi tersendiri, yaitu Islam yang ramah dan moderat dan merupakan Islam garis tengah yang menganut landasan ideologi dan filosofis moderat (Sucipto, 2007: 18). Arus besar yang diwakili NU dan Muhammadiyah telah menjadi merek paten bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka, inklusif, dan konstruktif (Ma’arif, 2009: 304). Moderasi dan toleransi menjadi karakteristik mainstream anggota kedua organisasi tersebut (Bruinessen dalam Samuel dan Norddholt, 2004: 61). NU dan Muhammadiyah berperan sebagai penjaga gawang moderasi (Qomar, 2013: 153). Moderasi NU dan Muhammadiyah ini mewarnai corak Islam Nusantara selama ini. Sebab dua organisasi Islam terbesar ini merupakan simbol Islam Nusantara, kendatipun ada juga organisasi Islam yang radikal maupun liberal, tetapi keduanya sangat kecil sehingga tidak patut menjadi kelompok mainstream yang mewakili Islam Nusantara. Islam moderat itu memiliki misi untuk msenjaga keseimbangan antara dua macam ekstrimitas, khususnya antara pemikiran, pemahaman dan gerakan Islam fundamental dengan liberal, sebagai dua kutub ekstrimitas yang sulit dipadukan. Maka Islam moderat memelihara dan mengembangkan kedamaian holistik, yakni kedamaian sesama umat Islam maupun dengan umat-umat lainnya, sehingga Islam moderat membebaskan masyarakat dari ketakutan. Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan ketergesa-gesaan (Basya dalam Sucipto, 2007: 392).
Islam moderat juga merupakan upaya menyelamatkan kondisi dunia sekarang ini (Imarah dalam Sucipto, 2007: 443). Peradaban 206 Islam Nusantara el Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 Islam moderat dibangun dari kombinasi akal, intuisi, wahyu, syariat, dan keimanan pada dua kitab, yaitu kitab yang tertulis (al Quran) dan kitab yang terbuka (alam semesta). Oleh karena itu, Islam moderat mampu bergerak secara fleksibel dalam menghadapi tantangan apa pun. Islam moderat juga mampu merespons tradisi yang telah mengakar di masyarakat, sehingga Islam moderat bertindak bijaksana. Historiografi lokal perlu diperhitungkan dalam proses islamisasi dan intensifikasi pembentukan identitas dan tradisi Islam di Nusantara (Azra, 2002: 15), sebab masyarakat Muslim lokal juga memiliki jaringan kesadaran kolektif (network of collective memory) tentang proses islamisasi yang berlangsung di kalangan mereka, kemudian terekam dalam berbagai historiografi lokal.
Proses islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang. Penerimaan Islam penduduk pribumi, secara bertahap menyebabkan Islam terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup keseharian penduduk lokal (Huda, 2013: 61). Perjumpaan keduanya menyebabkan terjadinya proses saling mengambil dan memberi (take and give) antara ajaran Islam yang baru datang dengan tradisi lokal yang telah lama mengakar di masyarakat. Akhirnya, Islam dan tradisi lokal itu bertemu dengan masyarakat secara individual maupun kolektif, tanpa bisa diklasifikasikan secara jelas mana yang Islam dan mana produk lokal, sehingga tradisi itu berkembang, diwariskan dan ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini (2008: viii). Implikasinya, tradisi Islam lokal hasil konstruksi ulang itu memiliki keunikan yang khas: ia tidak genuin Islam, tidak genuin Kejawen, dan tidak juga genuin lainnya (Khalil, 2008: ix), sebab keduanya (Islam dan tradisi lokal) benar-benar telah menyatu menjadi satu kesatuan, sebagai tradisi baru yang menyerap unsur-unsur dari keduanya.
Fenomena inilah yang biasanya disebut akulturasi budaya. Dalam konteks Islam Nusantara ini, akulturasi yang paling dominan terjadi antara Islam dengan budaya (tradisi) Jawa, sebab keduanya sama-sama kuat. Kebudayaan dan tradisi Jawa di masa silam, sejak berdiri dan kejayaan kerajaan Demak, Pajang hingga Mataram tetap mempertahankan tradisi Hindu-Budha dan Animisme-Dinamisme sebagai produk budaya pra HinduBudha (Khalil, 2008: 149). Tradisi ini diperkaya dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Istana kerajaan Pajang dan Mataram bernuansa Islam, tetapi adat istiadat masih dipertahankan (Hariwijaya, 2006: 206).
Gambaran Islam lokal ini terjadi pada masa lampau, dan realitasnya masih terpateri secara jelas hingga sekarang ini. Banyak sekali budaya, tradisi, dan adat istiadat lokal yang diwarnai Islam terus berkembang, dan sebaliknya juga banyak pemahaman Mujamil Qomar 207 el Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 serta pengamalan ajaran Islam yang dipengaruhi oleh budaya dan tradisi lokal yang telah berkembang dan mengakar di masyarakat.
 Adanya perjumpaan Islam dengan tradisi lokal itulah yang menjadi penyebab utama proses saling menyesuaikan. Kehadiran Islam secara damai mempengaruhi akulturasi budaya antara budaya lokal dengan Islam (Yusuf dan Haris, 2014: 1). Adanya saling mengisi antara keduanya mewujudkan budaya baru baik fisik maupun non fisik. Budaya itu kemudian menjadi ciri khas budaya masyarakat Islam Indonesia. Bahkan, tidak ada satu pun agama yang bebas dari tradisi panjang yang dihasilkan masyarakat pemeluknya (Machasin, 2011: 185-186).
Maka Islam yang dipahami dan dijalankan oleh orang Jawa secara praktis berbeda dengan Islam yang dipahami dan dihayati oleh orang-orang Sunda. Dalam skala yang lebih luas lagi, Islam yang dihayati orang-orang Timur Tengah, dalam batas tertentu, berbeda dengan Islam yang dihayati bangsa Indonesia. Sedangkan tradisi, tidak pernah statis atau berhenti (Ramadan, 2010: 146).
Tradisi senantiasa berkembang terutama melalui peralihan generasi mendatang yang menjadi bagian darinya. Tradisi mentransmisikan nilai, norma, budaya dan jalan hidup. Ada pun sikap Islam dalam menghadapi budaya atau tradisi lokal dapat dipilah menjadi tiga:
a.       menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan kehidupan umat manusia;
b.       menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam;
c.        membiarkan saja seperti cara berpakaian (Machasin, 2011: 187).
Sikap pertama didasari pertimbangan bahwa budaya lokal bermanfaat daan mendukung perbaikan dan penyejahteraan masyarakat, sikap kedua karena budaya lokal dipandang membahayakan masyarakat, sedangkan sikap ketiga lantaran budaya yang dihadapi Islam tidak membahayakan mereka, meskipun juga tidak memberikan manfaat yang berarti kepadanya.




C.    Tiga Aliran Islam Nusantara
A.    Nahdlatul Ulama
Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.[4] Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.
Sejarah
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik




B.      Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Sejarah
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Madrasah Mu'allimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
C.    Wahabbi
Paham wahhabi masuk pertama kali ke Indonesia pada awal abad ke-19. Hubungan antara ajaran kaum Wahabi dengan orang-orang Minangkabau di Sumatra Barat dimulai melalui kepulangan tiga orang haji; Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, yang baru pulang ibadah haji pada 1803.[22] Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahhabi.[23] Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap praktik yang dianggap bid'ah, penggunaan tembakau baik untuk sirih pinang atau merokok, dan pemakaian baju sutra. Mereka usahakan pula untuk menyebarkan ajaran ini secara paksa di wilayah Minangkabau. Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Lawan mereka terutama adalah golongan Adat, yakni kaum bangsawan Minang yang masih menjalankan praktik-praktik yang mereka anggap bertentangan dengan Islam.[22] Akibatnya, perang saudara yang disebut sebagai Perang Paderi pecah di tengah masyarakat Minangkabau. Atas campur tangan pemerintah kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.[22]
Dalam kaitannya terhadap penentangan terhadap takhayul, Sukarno disebutkan pernah memuji gerakan ini. Dalam salah satu tulisannya, Presiden Soekarno menyatakan pandangannya terhadap Wahabisme, Organisasi Sunni terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, menentang wahhabisme,[24] serta menyebutnya sebagai gerakan fanatik dan paham bid'ah dalam tradisi Sunni.[24]

D.    Islam Nusantara dalam Konteks Saat ini
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (seperti pesantren) serta sistem Kesultanan (KH. Said Aqil Siraj: 2015). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Pemahaman tentang formulasi Islam Nusantara menjadi penting untuk memetakan identitas Islam di negeri ini. Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi (Abdul Mun’im DZ: 2010). Islam nusantara tidak hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia (Ahmad Baso: 2015).
Dalam konteks inilah, meneguhkan Islam Nusantara dimaksudkan untuk memperkokoh dan upaya terus menerus menemukan (Invention), meramifikasi, merekonsiliasi, mengkomunikasikan, menganyam dan menghasilkan konstuksi-konstruksi baru (inovation). Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaharuan secara total atau kembali ke tradisi masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya pembaharuan terbatas. Sebuah invensi tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentitas secara literal, mengkopi apa yang pernah dilakukan, melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi suatu yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi relevan dan kontekstual. Dengan demikian, Islam Nusantara merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan tidak berhenti dalam menemukan bentuk dan manhaj berfikir dan bertindak dalam keberislaman yang selalu mengkontekstualisasikan dalam gerak sejarah.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam Nusantara merupakan identitas Islam ditinjau dari segi kawasan, yang bisa disejajarkan dengan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, dan sebagainya. Islam Nusantara ini merupakan model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam melalui pendekatan kultural, sehingga mencerminkan identitas Islam yang bernuansa metodologis. Islam Nusantara ini merefleksikan pemikiran, pemahaman, dan pengamalan Islam yang moderat, inklusif, toleran, cinta damai, menyejukkan, mengayomi dan menghargai keberagaman (kebinekaan) 214 Islam Nusantara el Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 sehingga keberadaan Islam Nusantara tersebut sebagai antitesis terhadap tindakan-tindakan radikal yang mengatasnamakan Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar