DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
BAB
I
PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A.
Latar
Belakang.................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................................... 1
BAB
II
PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A.
Sejarah
Islam Nusantara.................................................................................... 2
B. Karakteristik Islan Nusantara........................................................................... 3
C. Tiga Aliran Islan Nusantara............................................................................... 7
D.
Islam
Nusantara dalam Konteks Saat Ini......................................................... 11
BAB
III
PENUTUP..................................................................................................................... 13
A.
Kesimpulan.......................................................................................................... 13
B.
Lampiran............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAK..................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di dalam universitas
Nahdlatul ‘Ulama Lampung terdapat mata kuliah Studi Islam Nusantara yang di
ampu oleh Dosen Bapak Drs. H. Munawir, M.Si. pada semester 6. Oleh sebab itu disusunlah
sebuah makalah ini yang bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam
Nusantara.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Islam Nusantara ?
2.
Bagaimana karakteristik Islam Nusantara ?
3.
Bagaimana aliran Islam Nusantara ?
4.
Bagaimana Islam Nusantara dalam konteks saat ini ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Islam Nusantara
Islam
Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya
dan adat istiadat lokal di Nusantara dalam merumuskan ilmu fikihnya. Pada Juni
tahun 2015, Presiden Ir Joko Widodo sudah secara terbuka memberikan dukungan
pada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk ajaran Islam yang moderat dan
dianggap cocok dengan nilai budaya dan bangsa Indonesiayang besar dan beragam
Penyebaran Islam di Indonesia merupakan proses secara perlahan, bertahap, dan
berlangsung secara damai.
Suatu teori
menyebutkan Islam datang langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M,
sementara pihak lain menyebutkan bahwa peranan kaum pedagang dan ulama Sufi
yang membawa Islam ke Nusantara pada abad ke-12 atau ke-13, baik melewati
Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam
berhasil menggantikan agama Hindu dan Buddha yang saat itu sebagai agama
mayoritas di Nusantara. Islam tradisional pertama kali berkembang di Indonesia
yaitu cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh Ulama,
para kyai di pesantren.
Model
penyebaran Islam seperti itu ditemukan di pulau Jawa. Beberapa aspek dari Islam
tradisional sudah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik
Islam awal di Nusantara banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran
spiritual suku Jawa yang sudah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti
menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo,
juga bagian dalam tradisi Islam seperti misalnya ziarah kubur, tahlilan, dan
memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan
oleh Muslim tradisional Indonesia Islam Nusantara.
Dibandingkan dengan Muslim di Timur Tengah, Muslim di Indonesia
menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini
karna pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan
toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang
mendorong Indonesia — sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar ikut
berkontribusi pada evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan
aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi. Maka
selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan
digalakkan.
2.
Katakteristik
Islam Nusantara
Islam
Nusantara ini memiliki karakteristik-karakteristik yang khas sehingga
membedakan dengan karakteristik-karakteristik Islam kawasan lainnya, khususnya
Islam Timur Tengah yang banyak mempengaruhi Islam di berbagai belahan bumi ini.
Wilayah
Nusantara memiliki sejumlah keunikan yang berbeda dengan keunikan di
negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan tradisi
peradaban (Ghozali dalam Sahal & Aziz, 2015: 115). Keunikan-keunikan ini
menjadi pertimbangan para ulama ketika menjalankan Mujamil Qomar 205 el Harakah
Vol.17 No.2 Tahun 2015 Islam di Nusantara. Akhirnya, keunikan-keunikan ini
membentuk warna Islam Nusantara yang berbeda dengan warna Islam di Timur
Tengah.
Islam
Nusantara merupakan Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi
solusi terhadap masalah-masalah bangsa dan negara (Bizawie dalam Sahal &
Aziz, 2015; 240). Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur,
sub kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya dapat diterima masyarakat
Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya, yakni rahmatan li al-‘alamin. Pesan rahmatan li al-‘alamin ini
menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang moderat, toleran,
cinta damai, dan menghargai keberagaman (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015:
242). Islam yang merangkul bukan memukul; Islam yang membina, bukan menghina;
Islam yang memakai hati, bukan memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan
menghujat; dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan.
Semenjak
awal, Islam Indonesia memiliki corak dan tipologi tersendiri, yaitu Islam yang
ramah dan moderat dan merupakan Islam garis tengah yang menganut landasan
ideologi dan filosofis moderat (Sucipto, 2007: 18). Arus besar yang diwakili NU
dan Muhammadiyah telah menjadi merek paten bagi gerakan Islam moderat, modern,
terbuka, inklusif, dan konstruktif (Ma’arif, 2009: 304). Moderasi dan toleransi
menjadi karakteristik mainstream anggota kedua organisasi tersebut (Bruinessen
dalam Samuel dan Norddholt, 2004: 61). NU dan Muhammadiyah berperan sebagai
penjaga gawang moderasi (Qomar, 2013: 153). Moderasi NU dan Muhammadiyah ini
mewarnai corak Islam Nusantara selama ini. Sebab dua organisasi Islam terbesar
ini merupakan simbol Islam Nusantara, kendatipun ada juga organisasi Islam yang
radikal maupun liberal, tetapi keduanya sangat kecil sehingga tidak patut
menjadi kelompok mainstream yang mewakili Islam Nusantara. Islam moderat itu
memiliki misi untuk msenjaga keseimbangan antara dua macam ekstrimitas,
khususnya antara pemikiran, pemahaman dan gerakan Islam fundamental dengan
liberal, sebagai dua kutub ekstrimitas yang sulit dipadukan. Maka Islam moderat
memelihara dan mengembangkan kedamaian holistik, yakni kedamaian sesama umat
Islam maupun dengan umat-umat lainnya, sehingga Islam moderat membebaskan
masyarakat dari ketakutan. Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang
mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan ketergesa-gesaan
(Basya dalam Sucipto, 2007: 392).
Islam
moderat juga merupakan upaya menyelamatkan kondisi dunia sekarang ini (Imarah
dalam Sucipto, 2007: 443). Peradaban 206 Islam Nusantara el Harakah Vol.17 No.2
Tahun 2015 Islam moderat dibangun dari kombinasi akal, intuisi, wahyu, syariat,
dan keimanan pada dua kitab, yaitu kitab yang tertulis (al Quran) dan kitab
yang terbuka (alam semesta). Oleh karena itu, Islam moderat mampu bergerak
secara fleksibel dalam menghadapi tantangan apa pun. Islam moderat juga mampu
merespons tradisi yang telah mengakar di masyarakat, sehingga Islam moderat
bertindak bijaksana. Historiografi lokal perlu diperhitungkan dalam proses
islamisasi dan intensifikasi pembentukan identitas dan tradisi Islam di
Nusantara (Azra, 2002: 15), sebab masyarakat Muslim lokal juga memiliki
jaringan kesadaran kolektif (network of collective memory) tentang proses
islamisasi yang berlangsung di kalangan mereka, kemudian terekam dalam berbagai
historiografi lokal.
Proses
islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang.
Penerimaan Islam penduduk pribumi, secara bertahap menyebabkan Islam
terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup keseharian penduduk lokal
(Huda, 2013: 61). Perjumpaan keduanya menyebabkan terjadinya proses saling
mengambil dan memberi (take and give) antara ajaran Islam yang baru datang
dengan tradisi lokal yang telah lama mengakar di masyarakat. Akhirnya, Islam
dan tradisi lokal itu bertemu dengan masyarakat secara individual maupun
kolektif, tanpa bisa diklasifikasikan secara jelas mana yang Islam dan mana
produk lokal, sehingga tradisi itu berkembang, diwariskan dan ditransmisikan
dari masa lalu ke masa kini (2008: viii). Implikasinya, tradisi Islam lokal
hasil konstruksi ulang itu memiliki keunikan yang khas: ia tidak genuin Islam,
tidak genuin Kejawen, dan tidak juga genuin lainnya (Khalil, 2008: ix), sebab
keduanya (Islam dan tradisi lokal) benar-benar telah menyatu menjadi satu
kesatuan, sebagai tradisi baru yang menyerap unsur-unsur dari keduanya.
Fenomena
inilah yang biasanya disebut akulturasi budaya. Dalam konteks Islam Nusantara
ini, akulturasi yang paling dominan terjadi antara Islam dengan budaya
(tradisi) Jawa, sebab keduanya sama-sama kuat. Kebudayaan dan tradisi Jawa di
masa silam, sejak berdiri dan kejayaan kerajaan Demak, Pajang hingga Mataram
tetap mempertahankan tradisi Hindu-Budha dan Animisme-Dinamisme sebagai produk
budaya pra HinduBudha (Khalil, 2008: 149). Tradisi ini diperkaya dan
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Istana kerajaan Pajang dan Mataram
bernuansa Islam, tetapi adat istiadat masih dipertahankan (Hariwijaya, 2006:
206).
Gambaran
Islam lokal ini terjadi pada masa lampau, dan realitasnya masih terpateri
secara jelas hingga sekarang ini. Banyak sekali budaya, tradisi, dan adat
istiadat lokal yang diwarnai Islam terus berkembang, dan sebaliknya juga banyak
pemahaman Mujamil Qomar 207 el Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 serta pengamalan
ajaran Islam yang dipengaruhi oleh budaya dan tradisi lokal yang telah
berkembang dan mengakar di masyarakat.
Adanya perjumpaan Islam dengan tradisi lokal
itulah yang menjadi penyebab utama proses saling menyesuaikan. Kehadiran Islam
secara damai mempengaruhi akulturasi budaya antara budaya lokal dengan Islam
(Yusuf dan Haris, 2014: 1). Adanya saling mengisi antara keduanya mewujudkan
budaya baru baik fisik maupun non fisik. Budaya itu kemudian menjadi ciri khas
budaya masyarakat Islam Indonesia. Bahkan, tidak ada satu pun agama yang bebas
dari tradisi panjang yang dihasilkan masyarakat pemeluknya (Machasin, 2011:
185-186).
Maka
Islam yang dipahami dan dijalankan oleh orang Jawa secara praktis berbeda
dengan Islam yang dipahami dan dihayati oleh orang-orang Sunda. Dalam skala
yang lebih luas lagi, Islam yang dihayati orang-orang Timur Tengah, dalam batas
tertentu, berbeda dengan Islam yang dihayati bangsa Indonesia. Sedangkan
tradisi, tidak pernah statis atau berhenti (Ramadan, 2010: 146).
Tradisi
senantiasa berkembang terutama melalui peralihan generasi mendatang yang
menjadi bagian darinya. Tradisi mentransmisikan nilai, norma, budaya dan jalan
hidup. Ada pun sikap Islam dalam menghadapi budaya atau tradisi lokal dapat
dipilah menjadi tiga:
a. menerima
dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna
bagi pemuliaan kehidupan umat manusia;
b. menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam;
c. membiarkan saja seperti cara berpakaian
(Machasin, 2011: 187).
Sikap
pertama didasari pertimbangan bahwa budaya lokal bermanfaat daan mendukung
perbaikan dan penyejahteraan masyarakat, sikap kedua karena budaya lokal
dipandang membahayakan masyarakat, sedangkan sikap ketiga lantaran budaya yang
dihadapi Islam tidak membahayakan mereka, meskipun juga tidak memberikan
manfaat yang berarti kepadanya.
C.
Tiga
Aliran Islam Nusantara
A. Nahdlatul
‘Ulama
Nahdlatul 'Ulama
(Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah
sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada
31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan
ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi
keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.[4]
Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang
bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada
dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya
NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan
kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi
dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.
Sejarah
Akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan
Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan
nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916.
Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis
untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya
berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan
tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan
Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh
K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang
melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan
pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah
kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam
"murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem
bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya
tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan
tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah
Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua
kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai
dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik
B. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah
organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama
Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang
yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah
adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri
semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan
terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi
dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia
dalam segala aspeknya.
Sejarah
Organisasi Muhammadiyah
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Persyarikatan Muhammadiyah
didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam
yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian
Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian
sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School
Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah
(sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus
laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan
Wirobrajan dan Madrasah Mu'allimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di
Suronatan Yogyakarta yang keduanya skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah)
yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Dalam catatan Adaby Darban,
ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya
diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang
kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai
Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa
kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di
karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan
Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang
Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925,
Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka
cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang
Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah
kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
C. Wahabbi
Paham wahhabi masuk pertama
kali ke Indonesia pada awal abad ke-19. Hubungan antara ajaran kaum Wahabi
dengan orang-orang Minangkabau di Sumatra Barat dimulai melalui kepulangan tiga
orang haji; Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, yang baru pulang ibadah
haji pada 1803.[22] Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah
oleh kaum Wahhabi.[23] Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap praktik
yang dianggap bid'ah, penggunaan tembakau baik untuk sirih pinang atau merokok,
dan pemakaian baju sutra. Mereka usahakan pula untuk menyebarkan ajaran ini secara
paksa di wilayah Minangkabau. Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga
haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad
melawan kaum Muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Lawan
mereka terutama adalah golongan Adat, yakni kaum bangsawan Minang yang masih
menjalankan praktik-praktik yang mereka anggap bertentangan dengan Islam.[22]
Akibatnya, perang saudara yang disebut sebagai Perang Paderi pecah di tengah
masyarakat Minangkabau. Atas campur tangan pemerintah kolonial Belanda, perang
Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.[22]
Dalam kaitannya terhadap
penentangan terhadap takhayul, Sukarno disebutkan pernah memuji gerakan ini.
Dalam salah satu tulisannya, Presiden Soekarno menyatakan pandangannya terhadap
Wahabisme, Organisasi Sunni terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, menentang
wahhabisme,[24] serta menyebutnya sebagai gerakan fanatik dan paham bid'ah
dalam tradisi Sunni.[24]
D. Islam
Nusantara dalam Konteks Saat ini
Islam Nusantara adalah Islam
yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai
tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara
menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran
Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang
banyak tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau
menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan
mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi
butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat
dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan
(seperti pesantren) serta sistem Kesultanan (KH. Said Aqil Siraj: 2015).
Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang
telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Pemahaman tentang formulasi
Islam Nusantara menjadi penting untuk memetakan identitas Islam di negeri ini.
Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog
dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi,
akulturasi dan adaptasi (Abdul Mun’im DZ: 2010). Islam nusantara tidak hanya
terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam
Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus senantiasa
diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia (Ahmad Baso:
2015).
Dalam konteks inilah,
meneguhkan Islam Nusantara dimaksudkan untuk memperkokoh dan upaya terus
menerus menemukan (Invention), meramifikasi, merekonsiliasi, mengkomunikasikan,
menganyam dan menghasilkan konstuksi-konstruksi baru (inovation). Konstruksi
tersebut tidak harus merupakan pembaharuan secara total atau kembali ke tradisi
masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya pembaharuan terbatas. Sebuah
invensi tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentitas secara literal,
mengkopi apa yang pernah dilakukan, melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi
suatu yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi
relevan dan kontekstual. Dengan demikian, Islam Nusantara merupakan suatu
proses yang berkelanjutan dan tidak berhenti dalam menemukan bentuk dan manhaj
berfikir dan bertindak dalam keberislaman yang selalu mengkontekstualisasikan
dalam gerak sejarah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam Nusantara merupakan identitas
Islam ditinjau dari segi kawasan, yang bisa disejajarkan dengan Islam Arab,
Islam India, Islam Turki, dan sebagainya. Islam Nusantara ini merupakan model
pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam melalui pendekatan
kultural, sehingga mencerminkan identitas Islam yang bernuansa metodologis.
Islam Nusantara ini merefleksikan pemikiran, pemahaman, dan pengamalan Islam
yang moderat, inklusif, toleran, cinta damai, menyejukkan, mengayomi dan
menghargai keberagaman (kebinekaan) 214 Islam Nusantara el Harakah Vol.17 No.2
Tahun 2015 sehingga keberadaan Islam Nusantara tersebut sebagai antitesis
terhadap tindakan-tindakan radikal yang mengatasnamakan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara
Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar