Senin, 30 Maret 2020

Makalah ASWAJA


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Khazanah Islam Nusantara dalam Tahlilan” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Wahid Imam Rifai,S.Pd,M.Pd,i selaku Dosen mata kuliah Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.



Lampung, Oktober  2019



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I............................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................. 3
PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.    Islam Nusantara.................................................................................... 3
B.     Tahlilan dan Sejarahnya........................................................................ 4
C.     Tahlilan Islam Nusantara...................................................................... 10
D.    Hasil Pengamatan Bacaan Yasin dan Tahlil di Lingkungan................. 12
E.     Organisasi Jama’ah Yasin dan Tahlil.................................................... 13
BAB III............................................................................................................ 14
PENUTUP...................................................................................................... 14
A.    Kesimpulan........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring  dengan derasnya arus globalisasi dan modernisasi, sekarang telah berkembang beberapa aliran anti tradisi yang berupaya untuk membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan pelaku tradisi tersebut, serta menggantinya dengan tradisi sebagian bangsa Arab modern. Terdapat beberapa amaliah-amaliah kita yang dianggap bid’ah, seperti majelis maulid, sholawat, yasinan, ziarah kubur, tabarruk, tahlilan, dan lain-lain. Amaliah-amaliah tersebut merupakan amalaih yang sudah mendarah daging di Nusantara pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Amaliah-amaliah tersebut diwariskan oleh ‘alim ulama dan kaum sholihin yang dikenal keluasan ilmunya dan kemuliaan akhlaknya.
Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW bukanlah untuk menolak atau memberantas segala bentuk tradisi yang ada dan sudah mengakar menjadi kultur budaya masyarakat, melainkan untuk melakukan pembenaran atau meluruskan tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan risalah Rasulullah harus tetap dilestarikan, maka Islam akan mengakulturasikannya dan kemudian mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri. Bila sudah satu dari keluarga (famili) kita meninggal, maka kita harus tetap bertaqwa kepada-Nya dan bersikap sabar atas musibah tersebut dan kita berusaha jangan sampai berputus asa, menggerutu dan bahkan sampai marah-marah, karena semua itu kejadian yang pasti dan bila sudah waktunya maka tak seorangpun bisa mengelaknya.
Maka atas dasar tersebut di atas, kita dalam menghadapi orang dan keluarga atau teman yang meninggal janganlah bersikap kurang baik melainkan kita harus mendo’akan baik secara perorangan ataupun secara bersama-sama. Untuk mengetahui do’a dan bagaimana cara orang mendo’akan orang yang sudah meninggal, maka penulis mencoba mengangkat masalah ini dalam bentuk makalah yang berjudul “Khazanah Islam Nusantara dalam Tahlilan”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Islam Nusantara dan Tahlil?
2.      Bagaimana tahlilan dalam islam nusantara?
3.      Bagaimana sejarah tahlilan?
4.      Bagaimana bacaan tahlil dan urutannya?
5.      Apa saja do’a tahlil?























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Nusantara
Islam Nusantara merupakan pendekatan sosiologi agama bukan teologi agama seperti halnya telah dilakukan Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar sosiologi Islam untuk mengkaji dan meramal masa depan Islam.
Kajian sosiologi keagamaan Islam Nusantara menggunakan pendekatan sosiologi behaviorisme yang dianggap model terbaru dari kajian sosiologi. Kata para ahli sekarang bukan jamannya lagi bicara strukturalisme-fungsional, dll.
Populasi muslim Dunia di atas 2 milyar yang tersebar di lebih 68 negara. pertanyaannya siapa juru bicara Islam yang mewakili mereka? Masalah ini menjadi kegelisahan umat sekarang ini. Makanya ada Islam transnasional seperti HTI, Ikhwanul Muslimin, Wahabi karena menurut mereka agar ada Jubir yang mewakili umat Islam. Tapi di jaman globalisasi yang serba kompetitif ini cara-cara mereka sudah ketinggalan jaman. Buktinya Pan Islamisme gagal total lalu diganti Pan Arabisme juga bernasib sama. Biasanya untuk mengelabuhi kegagalan ini dilakukan propaganda anti-Barat. Padahal masalah umat Islam ini sudah diramal Ibnu Khaldun dengan teori siklusnya (tumbuh-berkembang-keemasan-layu-mati).
Kalau Arab sudah pernah mengalami kejayaan peradaban, Asia Selatan dan Tengah juga pernah, maka kira-kira Islam di wilayah mana yang belum? Kalau Muslim Eropa –meminjam teori Ibn Khaldun- tak akan terjadi 2 perabadan maju berada dalam titik kordinat yang sama.
Oleh sebab itu kemungkinan peradaban dunia ke depan akan tumbuh berkembang, mengalami kejayaan di Asia Tenggara dan Timur. Itulah alasan mengapa ada Islam Nusantara. Toh sekarang ini di belahan dunia juga bergelora semangat Islam kawasan seperti Islam Hindi, Islam Afrika, dsb.
Di awal sudah dijelaskan bahwa sekarang eranya behaviorisme. Buktinya kita tak cukup ngaku WNI kecuali punya NIK; kita tak bisa menggunakan hp kecuali nomornya sudah teraktifasi. Itulah sedikit contoh behaviorisme.
Di era globalisasi yang ketat kompetisinya ini, kita dituntut untuk mengaktivasi segala hal yang menjadi bagian dari milik kita (is having). Tentu saja kalau kita mau maju dan dikenal dunia. Oleh sebab itu, jika kita punya cita-cita kebangkitan Islam tahun 2020 muncul dari Timur maka kita harus memperkuat Islam Nusantara.
Caranya adalah dengan meng-entry kekayaan peradaban unggulan yang dimiliki muslim indonesia agar ketika masyrakat Dunia ingin tahu Islam Nusantara cukup dengan googling dan segera muncul pelopor peradaban Islam (Nusantara) masa depan. Amiin
B.     Tahlilan Dan Sejarahnya
Tahlilan, adalah sebuah tradisi yang berupa kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a, yang biasa dilakukan pada saat ada anggota warga yang kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal, atau untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tahlilan merupakan tradisi khas muslim Indonesia. Dalam acara kumpul-kumpul ini diisi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, mulai dengan bacaan surat al-ikhlash, al-muawwidzatain, ayat kursi, bacaan shlawattahlil, tasbih, dan istighfar. Urutan bacaan telah disusun sedemikian rupa sehingga sudah sedemikian mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini, perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.
Mencermati fenomena tradisi tahlilan, kurang tepat jika hanya dilihat secara hitam putih apakah tradisi itu boleh atau tidak boleh. Lebih-lebih jika logikanya terlampau disederhanakan bahwa karena tradisi seperti ini tidak pernah ada di masa Nabi Muhammad Saw, lalu dihukumi sebagai praktik bid’ah yang sesat dan haram. Kemudian dijustifikasi dengan dalil-dalil yang dimaknai secara tekstual bahwa setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka.
Lalu, untuk memantapkan argumen menolak tradisi tahlililan, maka dipaksa mengasosiasikannya dengan tradisi genduri dalam agama Hindu. Dengan agak melecehkan, tradisi tahlilan yang berisikan membaca ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, disamakan dengan pujian terhadap dewa-dewa. Jika setiap praktik tradisi yang tidak ada di masa Nabi Muhammad Saw kesemuanya harus dihukumi sebagai bid’ah yang sesat yang harus ditinggalkan, niscaya Islam akan hanya berisi tradisi kuno karena setiap hal baru harus disingkirkan, padahal kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan tradisi. Tradisi akan terus berkembang dan mengalami modifikasi seiring dengan perkembangan sosial budaya masyarakat.
Pada kenyataannya. Islam bukanlah bolduser yang akan membrangus terhadap semua budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Hanya budaya dan tradisi yang salah saja yang akan dihilangkan oleh Islam. Dalam hal ini para ulama telah merumuskan kaidah fiqhiyyah “al-âdat al-muhakkamah mâ lam tukhâlif al-syar’a”.
Banyak contoh tradisi yang lahir kemudian, yang sebelumnya tidak pernah ada, baik yang muncul murni dari tradisi masyarakat Islam, atau berasal dari tradisi di luar Islam, tetapi telah diislamkan (mengalami Islamisasi). Contohnya, Musabaqah Tilawat al- Qur’an (MTQ) yang terus mengalami perkembangan dan inovasi, adalah sebuah fenomena yang sekarang ini sudah menjadi tradisi di negara-negara Muslim. Fenomena MTQ ini jelas tidak ada di masa nabi Muhammad Saw.
Islam mengandung seperangkat nilai dan norma yang disebut syari’at Islam, yang merupakan tolok ukur untuk menilai sesuatu apakah baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh. Dengan adanya syari’at sebagai tolok ukurnya, Islam berkembang ke berbagai penjuru dan berinteraksi dengan berbagai peradaban lain di luar Islam. Islam telah telah berartikulasi dengan berbagai kondisi di berbagai wilayah dengan karakter yang berbeda-beda. Dengan kemampuan artikulasinya itu Islam telah mampu mensintesis budaya baru yang khas di masing-masing daerah sehingga menjadi bagian dari budaya masyarakat Islam setempat. Budaya itu diterima oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari kehidupannya tanpa adanya perlawanan.
Budaya baru inilah yang melahirkan tradisi yang bisa saja tradisi itu memang baru sama sekali atau tradisi itu sudah ada tapi diperbaharui. Dalam sejarah, Islam telah berhasil membangun peradaban yang besar dan mencapai kejayaannya selama berabad-abad yang sampai saat ini masih meninggalkan bekas-bekas kejayaan itu. Dalam proses kelahiran peradaban itu tidak lepas dari adanya asimilasi dan sintesis budaya. Proses asimilasi dan sintesis budaya baru inilah kalau meminjam bahasa Prof. Naquib al-Attas disebut sebagai Islamisasi.
Beberapa ajaran Islam pun dari aspek tradisinya dalam beberapa hal ada kemiripan dengan tradisi pra Islam. Ibadah haji misalnya mempunyai kemiripan dengan tradisi ziarah ke baitullah yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Arab pra Islam., masyarakat Arab pra Islam di jaman jahiliah telah mewarisi tradisi berhaji kebaitullah dari Nabi Ibrahim as. Namun kemudian, ibadah haji yang berasal dari ajaran Nabi Ibrahim as ini mengalami pergeseran yang pada akhirnya tercampur dengan tradisi berbau syirik. Ketika Islam datang tradisi ziarah tidak dilenyapkan, tetapi aspek kesyirikan dalam tradisi jahiliyah dihilangkan sama sekali. Dengan syari’at ibadah haji, masyarakat Arab masih tetap mengamalkan tradisi ziarah ke batullah, namun isi kegiatannya berbeda sama sekali. Maka tidak bisa dikatakan bahwa ibadah haji adalah mewarisi tradisi Arab jahiliyah.
Bagaimana dengan tradisi kumpul-kumpul yang disebut dengan tahlilan? Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal tradisi kumpul-kumpul untuk berbela sungkawa para tetangga mereka yang sedang kesusahan karena ditinggal mati keluarganya. Mungkin ketika berkumpul mereka juga membaca mantra-mantra sebagai do’a. Para da’i yang menjadi juru da’wah ketika itu diantaranya para wali, tidak serta merta melenyapkan atau mebrangus tradisi seperti ini. Di dalam ajaran Islam sendiri tradisi ini ada kemiripan dengan ajaran untuk ta’ziyah (berbele sungkawa terhadap yang kesusahan).
Maka tradisi kumpul-kumpulnya tetap dipelihara, namun isinya diubah. Bacaan-bacaan mantra dan persembahan untuk para leluhur dan dewa-dewa dihilangkan sama sekali diganti dengan bacaan ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah. Lalu dipilihnya nama yang pas untuk tradisi ini yaitu tahlilan. Penyebutan nama tahlilan untuk acara ini bukan tanpa sengaja. Acara ini tidak dinama fatihaah (patikahan) padalah di dalamnya dibaca surat al-Fatihah, atau ayat kursian karena di dalamnya juga dibacakan ayat kursi, atau istighfaran karena dibaca pula istighfar, atau shalawatan (slawatan), padalah di dalanya juga dibaca shalawat. Kata tahlilan diambil dari kata tahlil yak’ni bacaan kalimah tauhid “laa ilaaha illa Allah”. Bacaan ini merupakan salah satu saja dari sekian bacaan yang dibaca pada tradisi tahlilan. Tapi kemudian nama bacaan ini yang dipilih sebagai nama dari tradisi ini sehingga menjadi tahlilan. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid menjadi ruh dari tradisi ini. Kalimah tauhid yang dalam al-Qur’an disebut dengan kalimah sawa’ menjadi intisari dari tradisi tahlilan.
Para da’i yang menyebarkan Islam di Nusantara ini memang sangat bijak dalam menyikapi tradisi yang berkembang di masyarakat. Tidak semua tradisi yang berkembang di masyarakat dihapuskan. Bahkan beberapa tradisi telah diubah sedemikian rupa untuk selanjutnya digunakan sebagai media da’wah. Contoh yang paling sering disampaikan adalah wayang.   Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal kisah-kisah dalam pewayangan karena kisah-kisah ini awalnya bersumber dari buku Mahabarata yang konon ditulis oleh resi Byasa dan buku Ramayana yang ditulis oleh resi Walmiki. Masyarakat yang bercorak Hindu sangat menyukai kisah-kisah ini dan kisah-kisah ini mereka gunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral seperti kejujuran, kesetiakawanan, menepati janji, dan sebagainya.
Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia, kisah ini disadur kembali oleh pujangga Hindu Nusantara seperti Empu Sedah yang menulis buku Baratayuda dan Empu Kanwa yang menulis buku Arjunawiwaha. Para wali yang menjadi da’i di Nusantara sangat memahami karakter masyarakat ini sehingga mereka tidak melenyapkan semua kisah yang ada dalam Mahabarata. Tokoh-tokoh dalam kisah Mahabarata seperti Pandawa serta keluarganya dan juga Kurawa tetap dipertahankan, namun kisahnya dimodifikasi. Aspek kepahlwanan dari tokoh-tokohnya tetap dipertahankan, namun nuansa Hindunya yang dihilangkan dan kemudian ditampilkan tokoh baru. Sebagai contoh Gatut Kaca putra Bima atau Wrekudara ditampilkan menjadi tokoh sakti yang mempunyai mantra yang disebut Kalimasada yakni kalimah tauhid atau kalimah syahadat. Kembali lagi tauhid menjadi inti dari da’wah mereka.
Pertanyaan yang sering disodorkan adalah apakah tradisi seperti tahlilan tidak termasuk perbuatan menciptakan syari’at baru. Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa merubah tata cara ibadah yang telah diajarkan tata caranya oleh Rasulullah Saw secara rinci, merupakan perbuatan bid’ah yang terlarang dan termasuk perbuatan yang tertolak. Sebagai contoh, ibadah shalat harus dikerjakan apa adanya sebagaimana Nabi Saw mengajari tata cara shalat. Maka menciptakan tata cara shalat sendiri seperti shalat dengan dua bahasa adalah perbuatan yang tercela.
Di sisi lain terdapat banyak aktivitas yang termasuk ibadah, namun tidak ditunjukkan kaifiyah (tata cara) nya secara rinci kecuali hanya kriteria umum saja. Ta’ziah kepada tetangga yang kesusahan adalah perbuatan yang diajarkan oleh syari’at, menjalankannya termasuk ibadah. Bagaimana tata caranya tidak disampaikan secara rinci kecuali hanya bersifat umum saja.
Demikian pula membaca al-Qur’an, berdo’a, membaca shalawat, dan membaca kalima thayyibah adalah termasuk ibadah yang tidak dijelaskan tata caranya secara rinci. Mentradisikan kegiatan yang berkaitan dengan hal ini, misalnya tradisi sema’an al-Qur’an berkeliling, tradisi perayaan hari besar Islam dan juga tahlilan, tidaklah termasuk sebagai tradisi yang tercela yang dilarang, sekalipun tidak dilakukan di masa Nabi Saw dan para sahabatnya dan tidak bisa disebut bertentangan dengan ajaran Nabi Saw.
Dalam suatu riwayat yang dikumpulkan oleh Imam al-Nasa’i dan Ibnu Sunni dan dikutip oleh Imam al-Nawani dalam al-Adzkar berasal dari Sa’ad bin Abi Waqas diceritakan bahwa seorang laki-laki shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Saw. Ketika sampai di shaf, laki-laki itu berdo’a: “Allahumma aatinii afdhala maa tu’tii ibaadaka al-shaalihiin” (Ya Allah berilah aku apa yang terbaik dari yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih). Seusai shalat Rasulullah Saw tidak memarahi laku-laki itu karena melakukan amalan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Rasulullah juga tidak menegurnya, misalnya dengan kalimat: “hai kenapa kalian melakukan amalan yang tidak aku ajarkan”.
Andai saja ini perbuatan tercela niscaya Nabi Saw akan menegurnya karena dalam riwayat lain Nabi Saw telah bersabda: “Man ahdatsa fii amrinaa hadzaa maa laisa minhu fahuwa raddun” (Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak). Yang terjadi malah sebaliknya. Rasulullah memberi apresiasi pada laki-laki itu dan mendoakannya: “jika demikian kudamu akan disembelih dan kamu mati syahid di jalan Allah”. Wallahu a’lam bis shawab.




C.    Tahlilan Islam Nusantara
            Salah satu alasan mengapa para pembenci tahlil menolak tahlilan adalah pemberatan ahlul musibah atas hidangan kepada para tamu maupun mereka yang hadir mendoakan pada acara tahlilan. Golongan tersebut justru menyarankan untuk membawa makanan kepada shohibil musibah, bukan memakan hidangan dari tuan rumah.
Mengenai hal ini, Imam Syafii telah berkata dalam kitabnya Al Umm : “Saya menyukai bagi tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta  termasuk perbuatan orang dermawan sebelum dan sesudah kami.” (Al-Umm, 1/317)
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:“Tatkala berita kematian Ja’far, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : Masakkan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, no. 998, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud, no.  3132, ibnu Majah, no.  1610)
Secara tekstual, perintah yang dianjurkan adalah membawa makanan. Untuk masyarakat di Indonesia, bukan makanan yang diantar kepada keluarga mayyit namun beras dan uang. Penggantian makanan menjadi beras atau uang apakah kemudian menjadikan bid'ah pula?
Membawa beras atau uang untuk keluarga si Mayyit termasuk pada adat kebiasaan setempat. Hal ini akan lebih baik jika dikembalikan kepada qowaidul fiqhiah : “Asal (hukum) pada masalah adat kami adalah boleh, sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum boleh ( kepada hukum lain ).” [ Risalah Fi Qowaidil Fiqhiyyah : Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
kaidah fiqh fiqh di atas memperbolehkan suatu kebiasaan asalkan tidak ada dalil yang mengharamkan. Selain itu, di dalam salah satu kitab fenomenal karangan Al-imam An Nawawi, Syarh Shohih Muslim (15/166) disebutkan : “Para ulama’ berkata : ( Maksudnya ) ucapan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang berasal dari pendapat beliau sendiri dalam masalah dunia dan kehidupannya bukan dalam masalah penetapan syari’at”. Maka sudah jelas bahwa hukum adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat maka diperbolehkan. Adapun adat yang dimaksud di sini adalah, “Ungkapan tentang suatu yang telah tetap dalam jiwa-jiwa dari perkara-perkara yang berulang-ulang yang diterima di sisi tabi’at-tabi’at yang masih selamat.” [ Al-Asybah Wa Nadzoir ]
Kearifan lokal bergotong royong sudah kental di masyarakat indonesia. Islam Nusantara sebagai konsep aplikatif berusaha mengakomodir kearifan lokal untuk penanaman nilai - nilai islam. Bukan hanya soal memberikan makanan atau uang, fakta di lapangan, masyarakat berduyun - duyun membantu pemakaman, pembuatan tarub untuk para tamu, memasakkan makanan termasuk pula mendoakan si mayyit dengan ikhlas. 
Penulis sendiri pernah menghadiri tahlilan kematian yang dilaksanakan tanpa adanya hidangan apapun. Masyarakat tetap mau mendoakan mayyit. Bahkan ketika tahlilan tersebut tetap terdapat hidangan, uang yang didapat dari sumbangan warga, digunakan untuk membeli hidangan yang disajikan sebagai sedekah dari keluarga mayyit yang pahalanya diniatkan untuk si mayyit. 
Ini adalah salah satu kearifan lokal yang masih tetap terjaga hingga saat ini. Lalu, dimanakah letak kesalahan dari adat tersebut? 
Ungkapan diharamkannya berkumpul di tempat mayyit (al mattam ) seperti yang disebutkan oleh imam syafii, erat kaitannya dengan kebiasaan jaman jahiliyah. Ketika seorang mati, orang - orang berkumpul untuk meratapi, menangisi dan mengulang - ulang masa lalu mayyit yang pada akhirnya justru menyakitkan keluarga. Bahkan, terdapat kebiasaan membayar para penangis agar ikut menangisi kepergian si mayyit sebagai tanda betapa dicintainya si mayyit. 
Kebiasaan tersebut masih lekat di masyarakat arab pada saat itu. Inilah kenapa, Imam Syafii kemudian membenci Al-Mattam ( berkumpul di tempat mayyit ). Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Berkumpulnya orang - orang di tumah si mayyit bukan bertujuan untuk meratapi, tapi justru menemani si keluarga mayyit agar tidak tenggelam dalam kesedihan. Selain itu, berkumpulnya masyarakat adalah dengan mendoakan mayyit bukan untuk sesuatu yang sia - sia. 
Dari sejumlah pemikiran di atas, tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik. 

D.    Hasil Pengamatan Bacaan Yasin dan Tahlil di Lingkungan
Di dalam suatu daerah pastilah berbeda-beda urutan-urutan yang di baca pada acara tahlilan rutin dan acara tahlinan khusus. Di sini penulis akan menyampaikan pengamatan pada acara tahlilan rutin dan tahlilan khusus yang terdapat pada desa Tanjung intan.
Di sini penulis mengamati bahwa tahlilan rutin dengan tahlilan khusus tidak ada perbedaan sama sekali. Semua wasilah dan bacaan yang dibaca sama, hanya 1 wasilah saja yang berbeda yaitu wasilah di tujukan kepada keluarga ahlul bait/tuan rumah.
Yang pertama pada wasilah, wasilah yang digunakan dalam acara tahlilan di desa yang penulis amati sangatlah lengkap dan terlalu banyak di ulang-ulang. Misal, sebelumnya telah disebutkan dalam bahasa arab wasilah untuk bapak dan ibu kemudian wasilah akan di ulang kembali dalam bahasa indonesia.
Yang kedua, imam yasin dan tahlil hanya mengimami dalam wasilah dan berdo’a  saja seterusnya dibaca bersama-sama oleh seluruh jama’ah.
Urutan bacaan yasin dan tahlil yang pernah penulis amati dalam acara rutinan di desa Tanjung Intan, Purbolinggo. Adapun urutannya sebagai berikut:


1.      Wasilah
2.      Surat Yasin
3.      Surat al-Ikhlas
4.      Surat al-Falaq
5.      Surat an-Nas
6.      Surat al-Fatihah
7.      Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 
8.      Surat al-Baqarah ayat 163
9.      Surat al-Baqarah ayat 255 
10.  Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 
11.  Surat al-Ahzab ayat 33 
12.  Surat al-Ahzab ayat 56
13.  Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil dan Tasbih
14.  Do’a


E.     Organisani Jama’ah Yasin dan Tahlil
                        Adapun organisasi yang terdapat pada jama’ah yasin dan tahlil di desa yang penulis amati hanya ada ketua, sekertaris, dan bendahara saja, antara lain :
Ketua   : Ibu Hj. Musinah
Sekertaris : Ibu Yuliana
Bendahara : Ibu Hj. Titik Handayani



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Tahlilan, adalah sebuah tradisi yang berupa kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a, yang biasa dilakukan pada saat ada anggota warga yang kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal, atau untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tahlilan merupakan tradisi khas muslim Indonesia. Dalam acara kumpul-kumpul ini diisi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, mulai dengan bacaan surat al-ikhlash, al-muawwidzatain, ayat kursi, bacaan shlawattahlil, tasbih, dan istighfar. Urutan bacaan telah disusun sedemikian rupa sehingga sudah sedemikian mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini, perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.
       Tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik. 
















DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar