KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Khazanah Islam Nusantara dalam
Tahlilan” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Wahid Imam Rifai,S.Pd,M.Pd,i selaku Dosen mata kuliah Ahlussunah Wal
Jama’ah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah
ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan, kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah
disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Lampung, Oktober 2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I............................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar
Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................. 3
PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.
Islam Nusantara.................................................................................... 3
B.
Tahlilan
dan Sejarahnya........................................................................ 4
C.
Tahlilan Islam Nusantara...................................................................... 10
D.
Hasil Pengamatan Bacaan Yasin dan Tahlil
di Lingkungan................. 12
E.
Organisasi Jama’ah
Yasin dan Tahlil.................................................... 13
BAB III............................................................................................................ 14
PENUTUP...................................................................................................... 14
A. Kesimpulan........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan
derasnya arus globalisasi dan modernisasi, sekarang telah berkembang beberapa
aliran anti tradisi yang berupaya untuk membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan pelaku
tradisi tersebut, serta menggantinya dengan tradisi sebagian bangsa Arab
modern. Terdapat beberapa amaliah-amaliah kita yang dianggap bid’ah, seperti
majelis maulid, sholawat, yasinan, ziarah kubur, tabarruk, tahlilan, dan
lain-lain. Amaliah-amaliah tersebut merupakan amalaih yang sudah mendarah
daging di Nusantara pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Amaliah-amaliah tersebut diwariskan oleh ‘alim ulama dan kaum sholihin yang
dikenal keluasan ilmunya dan kemuliaan akhlaknya.
Kehadiran agama Islam
yang dibawa oleh Rasulullah SAW bukanlah untuk menolak atau memberantas segala
bentuk tradisi yang ada dan sudah mengakar menjadi kultur budaya masyarakat,
melainkan untuk melakukan pembenaran atau meluruskan tradisi dan budaya yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan tradisi yang baik dan tidak
bertentangan dengan risalah Rasulullah harus tetap dilestarikan, maka Islam
akan mengakulturasikannya dan kemudian mengakuinya sebagai bagian dari budaya
dan tradisi Islam itu sendiri. Bila sudah satu dari keluarga (famili) kita
meninggal, maka kita harus tetap bertaqwa kepada-Nya dan bersikap sabar atas
musibah tersebut dan kita berusaha jangan sampai berputus asa, menggerutu dan
bahkan sampai marah-marah, karena semua itu kejadian yang pasti dan bila sudah
waktunya maka tak seorangpun bisa mengelaknya.
Maka atas dasar tersebut
di atas, kita dalam menghadapi orang dan keluarga atau teman yang meninggal
janganlah bersikap kurang baik melainkan kita harus mendo’akan baik secara
perorangan ataupun secara bersama-sama. Untuk mengetahui do’a dan
bagaimana cara orang mendo’akan orang yang sudah meninggal, maka penulis
mencoba mengangkat masalah ini dalam bentuk makalah yang berjudul “Khazanah
Islam Nusantara dalam Tahlilan”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Islam Nusantara dan Tahlil?
2. Bagaimana
tahlilan dalam islam nusantara?
3. Bagaimana
sejarah tahlilan?
4. Bagaimana bacaan
tahlil dan urutannya?
5. Apa saja do’a
tahlil?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam
Nusantara
Islam Nusantara
merupakan pendekatan sosiologi agama bukan teologi agama seperti halnya telah
dilakukan Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar sosiologi Islam untuk mengkaji dan
meramal masa depan Islam.
Kajian sosiologi
keagamaan Islam Nusantara menggunakan pendekatan sosiologi behaviorisme yang
dianggap model terbaru dari kajian sosiologi. Kata para ahli sekarang bukan
jamannya lagi bicara strukturalisme-fungsional, dll.
Populasi muslim Dunia
di atas 2 milyar yang tersebar di lebih 68 negara. pertanyaannya siapa juru
bicara Islam yang mewakili mereka? Masalah ini menjadi kegelisahan umat
sekarang ini. Makanya ada Islam transnasional seperti HTI, Ikhwanul Muslimin,
Wahabi karena menurut mereka agar ada Jubir yang mewakili umat Islam. Tapi di
jaman globalisasi yang serba kompetitif ini cara-cara mereka sudah ketinggalan
jaman. Buktinya Pan Islamisme gagal total lalu diganti Pan Arabisme juga
bernasib sama. Biasanya untuk mengelabuhi kegagalan ini dilakukan propaganda
anti-Barat. Padahal masalah umat Islam ini sudah diramal Ibnu Khaldun dengan
teori siklusnya (tumbuh-berkembang-keemasan-layu-mati).
Kalau Arab sudah pernah
mengalami kejayaan peradaban, Asia Selatan dan Tengah juga pernah, maka
kira-kira Islam di wilayah mana yang belum? Kalau Muslim Eropa –meminjam teori
Ibn Khaldun- tak akan terjadi 2 perabadan maju berada dalam titik kordinat yang
sama.
Oleh sebab itu
kemungkinan peradaban dunia ke depan akan tumbuh berkembang, mengalami kejayaan
di Asia Tenggara dan Timur. Itulah alasan mengapa ada Islam Nusantara. Toh
sekarang ini di belahan dunia juga bergelora semangat Islam kawasan seperti
Islam Hindi, Islam Afrika, dsb.
Di awal sudah
dijelaskan bahwa sekarang eranya behaviorisme. Buktinya kita tak cukup ngaku
WNI kecuali punya NIK; kita tak bisa menggunakan hp kecuali nomornya sudah
teraktifasi. Itulah sedikit contoh behaviorisme.
Di
era globalisasi yang ketat kompetisinya ini, kita dituntut untuk mengaktivasi
segala hal yang menjadi bagian dari milik kita (is having). Tentu saja kalau
kita mau maju dan dikenal dunia. Oleh sebab itu, jika kita punya cita-cita
kebangkitan Islam tahun 2020 muncul dari Timur maka kita harus memperkuat Islam
Nusantara.
Caranya adalah dengan
meng-entry kekayaan peradaban unggulan yang dimiliki muslim indonesia agar
ketika masyrakat Dunia ingin tahu Islam Nusantara cukup dengan googling dan
segera muncul pelopor peradaban Islam (Nusantara) masa depan. Amiin
B.
Tahlilan
Dan Sejarahnya
Tahlilan, adalah sebuah tradisi yang berupa
kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a, yang biasa dilakukan pada saat
ada anggota warga yang kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal, atau
untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tahlilan merupakan tradisi khas
muslim Indonesia. Dalam acara kumpul-kumpul ini diisi dengan membaca ayat-ayat
al-Qur’an dan kalimah thayyibah, mulai dengan bacaan surat al-ikhlash,
al-muawwidzatain, ayat kursi, bacaan shlawat, tahlil,
tasbih, dan istighfar. Urutan bacaan telah disusun sedemikian
rupa sehingga sudah sedemikian mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini,
perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.
Mencermati fenomena tradisi tahlilan, kurang tepat
jika hanya dilihat secara hitam putih apakah tradisi itu boleh atau tidak
boleh. Lebih-lebih jika logikanya terlampau disederhanakan bahwa karena tradisi
seperti ini tidak pernah ada di masa Nabi Muhammad Saw, lalu dihukumi sebagai
praktik bid’ah yang sesat dan haram. Kemudian dijustifikasi dengan dalil-dalil
yang dimaknai secara tekstual bahwa setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka.
Lalu, untuk memantapkan argumen menolak tradisi
tahlililan, maka dipaksa mengasosiasikannya dengan tradisi genduri dalam agama
Hindu. Dengan agak melecehkan, tradisi tahlilan yang berisikan membaca ayat
al-Qur’an dan kalimah thayyibah, disamakan dengan pujian terhadap
dewa-dewa. Jika setiap praktik tradisi yang tidak ada di masa Nabi Muhammad Saw
kesemuanya harus dihukumi sebagai bid’ah yang sesat yang harus ditinggalkan,
niscaya Islam akan hanya berisi tradisi kuno karena setiap hal baru harus
disingkirkan, padahal kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan tradisi.
Tradisi akan terus berkembang dan mengalami modifikasi seiring dengan
perkembangan sosial budaya masyarakat.
Pada kenyataannya. Islam bukanlah bolduser yang akan
membrangus terhadap semua budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat.
Hanya budaya dan tradisi yang salah saja yang akan dihilangkan oleh Islam.
Dalam hal ini para ulama telah merumuskan kaidah fiqhiyyah “al-âdat
al-muhakkamah mâ lam tukhâlif al-syar’a”.
Banyak contoh tradisi yang lahir kemudian, yang
sebelumnya tidak pernah ada, baik yang muncul murni dari tradisi masyarakat
Islam, atau berasal dari tradisi di luar Islam, tetapi telah diislamkan
(mengalami Islamisasi). Contohnya, Musabaqah Tilawat al- Qur’an (MTQ) yang
terus mengalami perkembangan dan inovasi, adalah sebuah fenomena yang sekarang
ini sudah menjadi tradisi di negara-negara Muslim. Fenomena MTQ ini jelas tidak
ada di masa nabi Muhammad Saw.
Islam mengandung seperangkat nilai dan norma yang
disebut syari’at Islam, yang merupakan tolok ukur untuk menilai sesuatu apakah
baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh. Dengan adanya syari’at sebagai
tolok ukurnya, Islam berkembang ke berbagai penjuru dan berinteraksi dengan
berbagai peradaban lain di luar Islam. Islam telah telah berartikulasi dengan
berbagai kondisi di berbagai wilayah dengan karakter yang berbeda-beda. Dengan
kemampuan artikulasinya itu Islam telah mampu mensintesis budaya baru yang khas
di masing-masing daerah sehingga menjadi bagian dari budaya masyarakat Islam
setempat. Budaya itu diterima oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari
kehidupannya tanpa adanya perlawanan.
Budaya baru inilah yang melahirkan tradisi yang bisa
saja tradisi itu memang baru sama sekali atau tradisi itu sudah ada tapi
diperbaharui. Dalam sejarah, Islam telah berhasil membangun peradaban yang
besar dan mencapai kejayaannya selama berabad-abad yang sampai saat ini masih
meninggalkan bekas-bekas kejayaan itu. Dalam proses kelahiran peradaban itu
tidak lepas dari adanya asimilasi dan sintesis budaya. Proses asimilasi dan
sintesis budaya baru inilah kalau meminjam bahasa Prof. Naquib al-Attas disebut
sebagai Islamisasi.
Beberapa ajaran Islam pun dari aspek tradisinya dalam
beberapa hal ada kemiripan dengan tradisi pra Islam. Ibadah haji misalnya
mempunyai kemiripan dengan tradisi ziarah ke baitullah yang sudah menjadi
tradisi bagi masyarakat Arab pra Islam., masyarakat Arab pra Islam di jaman
jahiliah telah mewarisi tradisi berhaji kebaitullah dari Nabi Ibrahim as. Namun
kemudian, ibadah haji yang berasal dari ajaran Nabi Ibrahim as ini mengalami
pergeseran yang pada akhirnya tercampur dengan tradisi berbau syirik. Ketika
Islam datang tradisi ziarah tidak dilenyapkan, tetapi aspek kesyirikan dalam tradisi
jahiliyah dihilangkan sama sekali. Dengan syari’at ibadah haji, masyarakat Arab
masih tetap mengamalkan tradisi ziarah ke batullah, namun isi kegiatannya
berbeda sama sekali. Maka tidak bisa dikatakan bahwa ibadah haji adalah
mewarisi tradisi Arab jahiliyah.
Bagaimana dengan tradisi kumpul-kumpul yang disebut
dengan tahlilan? Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal
tradisi kumpul-kumpul untuk berbela sungkawa para tetangga mereka yang sedang
kesusahan karena ditinggal mati keluarganya. Mungkin ketika berkumpul mereka
juga membaca mantra-mantra sebagai do’a. Para da’i yang menjadi juru da’wah
ketika itu diantaranya para wali, tidak serta merta melenyapkan atau mebrangus
tradisi seperti ini. Di dalam ajaran Islam sendiri tradisi ini ada kemiripan
dengan ajaran untuk ta’ziyah (berbele sungkawa terhadap yang
kesusahan).
Maka tradisi kumpul-kumpulnya tetap dipelihara, namun
isinya diubah. Bacaan-bacaan mantra dan persembahan untuk para leluhur dan
dewa-dewa dihilangkan sama sekali diganti dengan bacaan ayat al-Qur’an dan
kalimah thayyibah. Lalu dipilihnya nama yang pas untuk tradisi ini yaitu
tahlilan. Penyebutan nama tahlilan untuk acara ini bukan tanpa sengaja. Acara
ini tidak dinama fatihaah (patikahan) padalah di dalamnya
dibaca surat al-Fatihah, atau ayat kursian karena di dalamnya juga dibacakan
ayat kursi, atau istighfaran karena dibaca pula istighfar, atau shalawatan
(slawatan), padalah di dalanya juga dibaca shalawat. Kata tahlilan diambil dari
kata tahlil yak’ni bacaan kalimah tauhid “laa ilaaha illa Allah”.
Bacaan ini merupakan salah satu saja dari sekian bacaan yang dibaca pada
tradisi tahlilan. Tapi kemudian nama bacaan ini yang dipilih sebagai nama dari
tradisi ini sehingga menjadi tahlilan. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid menjadi
ruh dari tradisi ini. Kalimah tauhid yang dalam al-Qur’an disebut dengan
kalimah sawa’ menjadi intisari dari tradisi tahlilan.
Para da’i yang menyebarkan Islam di Nusantara ini
memang sangat bijak dalam menyikapi tradisi yang berkembang di masyarakat.
Tidak semua tradisi yang berkembang di masyarakat dihapuskan. Bahkan beberapa
tradisi telah diubah sedemikian rupa untuk selanjutnya digunakan sebagai media
da’wah. Contoh yang paling sering disampaikan adalah wayang.
Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal kisah-kisah dalam
pewayangan karena kisah-kisah ini awalnya bersumber dari buku Mahabarata yang
konon ditulis oleh resi Byasa dan buku Ramayana yang ditulis oleh resi Walmiki.
Masyarakat yang bercorak Hindu sangat menyukai kisah-kisah ini dan kisah-kisah
ini mereka gunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral seperti
kejujuran, kesetiakawanan, menepati janji, dan sebagainya.
Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia,
kisah ini disadur kembali oleh pujangga Hindu Nusantara seperti Empu Sedah yang
menulis buku Baratayuda dan Empu Kanwa yang menulis buku Arjunawiwaha. Para
wali yang menjadi da’i di Nusantara sangat memahami karakter masyarakat ini
sehingga mereka tidak melenyapkan semua kisah yang ada dalam Mahabarata.
Tokoh-tokoh dalam kisah Mahabarata seperti Pandawa serta keluarganya dan juga
Kurawa tetap dipertahankan, namun kisahnya dimodifikasi. Aspek kepahlwanan dari
tokoh-tokohnya tetap dipertahankan, namun nuansa Hindunya yang dihilangkan dan
kemudian ditampilkan tokoh baru. Sebagai contoh Gatut Kaca putra Bima atau
Wrekudara ditampilkan menjadi tokoh sakti yang mempunyai mantra yang disebut
Kalimasada yakni kalimah tauhid atau kalimah syahadat. Kembali lagi tauhid
menjadi inti dari da’wah mereka.
Pertanyaan yang sering disodorkan adalah apakah
tradisi seperti tahlilan tidak termasuk perbuatan menciptakan syari’at baru.
Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa merubah tata cara ibadah yang
telah diajarkan tata caranya oleh Rasulullah Saw secara rinci, merupakan
perbuatan bid’ah yang terlarang dan termasuk perbuatan yang tertolak. Sebagai
contoh, ibadah shalat harus dikerjakan apa adanya sebagaimana Nabi Saw
mengajari tata cara shalat. Maka menciptakan tata cara shalat sendiri seperti
shalat dengan dua bahasa adalah perbuatan yang tercela.
Di sisi lain terdapat banyak aktivitas yang termasuk
ibadah, namun tidak ditunjukkan kaifiyah (tata cara) nya secara
rinci kecuali hanya kriteria umum saja. Ta’ziah kepada tetangga yang kesusahan
adalah perbuatan yang diajarkan oleh syari’at, menjalankannya termasuk ibadah.
Bagaimana tata caranya tidak disampaikan secara rinci kecuali hanya bersifat
umum saja.
Demikian pula membaca al-Qur’an, berdo’a, membaca
shalawat, dan membaca kalima thayyibah adalah termasuk ibadah yang tidak
dijelaskan tata caranya secara rinci. Mentradisikan kegiatan yang berkaitan
dengan hal ini, misalnya tradisi sema’an al-Qur’an berkeliling, tradisi
perayaan hari besar Islam dan juga tahlilan, tidaklah termasuk sebagai tradisi
yang tercela yang dilarang, sekalipun tidak dilakukan di masa Nabi Saw dan para
sahabatnya dan tidak bisa disebut bertentangan dengan ajaran Nabi Saw.
Dalam suatu riwayat yang dikumpulkan oleh Imam
al-Nasa’i dan Ibnu Sunni dan dikutip oleh Imam al-Nawani dalam al-Adzkar
berasal dari Sa’ad bin Abi Waqas diceritakan bahwa seorang laki-laki shalat
berjama’ah di belakang Rasulullah Saw. Ketika sampai di shaf, laki-laki itu berdo’a: “Allahumma
aatinii afdhala maa tu’tii ibaadaka al-shaalihiin” (Ya Allah berilah
aku apa yang terbaik dari yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang
shalih). Seusai shalat Rasulullah Saw tidak memarahi laku-laki itu karena
melakukan amalan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah sendiri.
Rasulullah juga tidak menegurnya, misalnya dengan kalimat: “hai kenapa kalian
melakukan amalan yang tidak aku ajarkan”.
Andai saja ini perbuatan tercela niscaya Nabi Saw akan
menegurnya karena dalam riwayat lain Nabi Saw telah bersabda: “Man
ahdatsa fii amrinaa hadzaa maa laisa minhu fahuwa raddun” (Barangsiapa
yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya,
maka dia tertolak). Yang terjadi malah sebaliknya. Rasulullah memberi apresiasi
pada laki-laki itu dan mendoakannya: “jika demikian kudamu akan disembelih dan
kamu mati syahid di jalan Allah”. Wallahu a’lam bis shawab.
C.
Tahlilan
Islam Nusantara
Salah satu alasan mengapa para
pembenci tahlil menolak tahlilan adalah pemberatan ahlul musibah atas hidangan
kepada para tamu maupun mereka yang hadir mendoakan pada acara tahlilan.
Golongan tersebut justru menyarankan untuk membawa makanan kepada shohibil
musibah, bukan memakan hidangan dari tuan rumah.
Mengenai hal
ini, Imam Syafii telah berkata dalam kitabnya Al Umm : “Saya menyukai bagi
tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada
hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu
termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta termasuk perbuatan
orang dermawan sebelum dan sesudah kami.” (Al-Umm, 1/317)
Fatwa Imam
Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:“Tatkala berita kematian Ja’far,
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : Masakkan makanan
untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang
menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, no. 998, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud,
no. 3132, ibnu Majah, no. 1610)
Secara
tekstual, perintah yang dianjurkan adalah membawa makanan. Untuk masyarakat di Indonesia,
bukan makanan yang diantar kepada keluarga mayyit namun beras dan uang.
Penggantian makanan menjadi beras atau uang apakah kemudian menjadikan bid'ah
pula?
Membawa
beras atau uang untuk keluarga si Mayyit termasuk pada adat kebiasaan setempat.
Hal ini akan lebih baik jika dikembalikan kepada qowaidul fiqhiah : “Asal
(hukum) pada masalah adat kami adalah boleh, sampai ada dalil yang memalingkan
dari hukum boleh ( kepada hukum lain ).” [ Risalah Fi Qowaidil Fiqhiyyah
: Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
kaidah fiqh
fiqh di atas memperbolehkan suatu kebiasaan asalkan tidak ada dalil yang
mengharamkan. Selain itu, di dalam salah satu kitab fenomenal karangan Al-imam
An Nawawi, Syarh Shohih Muslim (15/166) disebutkan : “Para ulama’ berkata : (
Maksudnya ) ucapan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang berasal dari
pendapat beliau sendiri dalam masalah dunia dan kehidupannya bukan dalam
masalah penetapan syari’at”. Maka sudah jelas bahwa hukum adat istiadat yang
tidak bertentangan dengan syariat maka diperbolehkan. Adapun adat yang dimaksud
di sini adalah, “Ungkapan tentang suatu yang telah tetap dalam jiwa-jiwa dari
perkara-perkara yang berulang-ulang yang diterima di sisi tabi’at-tabi’at yang
masih selamat.” [ Al-Asybah Wa Nadzoir ]
Kearifan lokal
bergotong royong sudah kental di masyarakat indonesia. Islam Nusantara sebagai
konsep aplikatif berusaha mengakomodir kearifan lokal untuk penanaman nilai -
nilai islam. Bukan hanya soal memberikan makanan atau uang, fakta di lapangan,
masyarakat berduyun - duyun membantu pemakaman, pembuatan tarub untuk para
tamu, memasakkan makanan termasuk pula mendoakan si mayyit dengan ikhlas.
Penulis
sendiri pernah menghadiri tahlilan kematian yang dilaksanakan tanpa adanya
hidangan apapun. Masyarakat tetap mau mendoakan mayyit. Bahkan ketika tahlilan
tersebut tetap terdapat hidangan, uang yang didapat dari sumbangan warga,
digunakan untuk membeli hidangan yang disajikan sebagai sedekah dari keluarga
mayyit yang pahalanya diniatkan untuk si mayyit.
Ini adalah
salah satu kearifan lokal yang masih tetap terjaga hingga saat ini. Lalu,
dimanakah letak kesalahan dari adat tersebut?
Ungkapan
diharamkannya berkumpul di tempat mayyit (al mattam ) seperti yang disebutkan
oleh imam syafii, erat kaitannya dengan kebiasaan jaman jahiliyah. Ketika
seorang mati, orang - orang berkumpul untuk meratapi, menangisi dan mengulang -
ulang masa lalu mayyit yang pada akhirnya justru menyakitkan keluarga. Bahkan,
terdapat kebiasaan membayar para penangis agar ikut menangisi kepergian si
mayyit sebagai tanda betapa dicintainya si mayyit.
Kebiasaan
tersebut masih lekat di masyarakat arab pada saat itu. Inilah kenapa, Imam
Syafii kemudian membenci Al-Mattam ( berkumpul di tempat mayyit ). Berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia. Berkumpulnya orang - orang di tumah si mayyit
bukan bertujuan untuk meratapi, tapi justru menemani si keluarga mayyit agar
tidak tenggelam dalam kesedihan. Selain itu, berkumpulnya masyarakat adalah
dengan mendoakan mayyit bukan untuk sesuatu yang sia - sia.
Dari
sejumlah pemikiran di atas, tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang
sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang
islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di
masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik.
D. Hasil Pengamatan Bacaan Yasin dan Tahlil di Lingkungan
Di dalam suatu daerah pastilah
berbeda-beda urutan-urutan yang di baca pada acara tahlilan rutin dan acara
tahlinan khusus. Di sini penulis akan menyampaikan pengamatan pada acara
tahlilan rutin dan tahlilan khusus yang terdapat pada desa Tanjung intan.
Di sini penulis mengamati bahwa
tahlilan rutin dengan tahlilan khusus tidak ada perbedaan sama sekali. Semua
wasilah dan bacaan yang dibaca sama, hanya 1 wasilah saja yang berbeda yaitu
wasilah di tujukan kepada keluarga ahlul bait/tuan rumah.
Yang pertama pada wasilah, wasilah
yang digunakan dalam acara tahlilan di desa yang penulis amati sangatlah
lengkap dan terlalu banyak di ulang-ulang. Misal, sebelumnya telah disebutkan
dalam bahasa arab wasilah untuk bapak dan ibu kemudian wasilah akan di ulang
kembali dalam bahasa indonesia.
Yang kedua, imam yasin dan tahlil
hanya mengimami dalam wasilah dan berdo’a
saja seterusnya dibaca bersama-sama oleh seluruh jama’ah.
Urutan bacaan yasin dan tahlil yang pernah
penulis amati dalam acara rutinan di desa Tanjung Intan, Purbolinggo. Adapun urutannya
sebagai berikut:
1. Wasilah
2. Surat Yasin
3. Surat
al-Ikhlas
4. Surat
al-Falaq
5. Surat an-Nas
6. Surat
al-Fatihah
7. Surat
al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5
8. Surat
al-Baqarah ayat 163
9. Surat
al-Baqarah ayat 255
10. Surat
al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286
11. Surat
al-Ahzab ayat 33
12. Surat
al-Ahzab ayat 56
13. Dan
sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil dan Tasbih
14. Do’a
E. Organisani Jama’ah Yasin dan Tahlil
Adapun organisasi yang terdapat pada
jama’ah yasin dan tahlil di desa yang penulis amati hanya ada ketua,
sekertaris, dan bendahara saja, antara lain :
Ketua : Ibu Hj. Musinah
Sekertaris :
Ibu Yuliana
Bendahara :
Ibu Hj. Titik Handayani
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tahlilan,
adalah sebuah tradisi yang berupa kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a,
yang biasa dilakukan pada saat ada anggota warga yang kesusahan karena ada
keluarganya yang meninggal, atau untuk memperingati meninggalnya seseorang.
Tahlilan merupakan tradisi khas muslim Indonesia. Dalam acara kumpul-kumpul ini
diisi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah,
mulai dengan bacaan surat al-ikhlash, al-muawwidzatain, ayat kursi,
bacaan shlawat, tahlil, tasbih, dan istighfar.
Urutan bacaan telah disusun sedemikian rupa sehingga sudah sedemikian
mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini, perbedaan tersebut tidak
terlalu jauh.
Tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang
sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang
islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di
masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar